Pengumuman: KTI-Skripsi.com tampil dengan wajah baru lebih sederhana, lebih cepat diakses dan lebih fresh kami hadir sudah 4 tahun. sampai Nopember2013 kami sudah melayani lebih dari 3000 orang dan layanan kami tetap eksis!!. Jadi jangan buang WAKTU, TENAGA dan BIAYA untuk browsing mencari referensi KTI Kebidanan.

Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang ASI Terhadap Pemberian Pasi Pada Bayi 0-6 Bulan Di Puskesmas

KTI KEBIDANAN
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG ASI TERHADAP PEMBERIAN PASI PADA BAYI 0-6 BULAN DI PUSKESMAS

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian
Negara Republik Indonesia adalah negara yang memiliki tujuan nasional dan cita-cita luhur yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mewujudkan tujuan tersebut perlu dipersiapkan secara dini sumber daya manusia yang tangguh dan berkualitas (Muchtadi, 2002).
Pemberian ASI dari awal kelahiran sampai 4-6 bulan akan menjadikan sendi-sendi kehidupan yang terbaik baginya kelak. ASI juga menjamin bayi tetap sehat dan memulai kehidupannya dalam cara yang paling sehat. Karena ASI adalah makanan terbaik diawal kehidupan bayi (Soetjiningsih, 1997).
Para ahli menemukan bahwa manfaat ASI akan sangat meningkat bila gizi hanya diberi ASI saja selama 6 bulan pertama kehidupannya. Peningkatan ini sesuai dengan lamanya pemberian ASI eksklusif serta lamanya pemberian ASI bersama-sama dengan makanan padat setelah bayi berumur 6 bulan. Melalui ASI eksklusif akan lahir generasi baru yang sehat secara mental emosional dan sosial (Soetjiningsih, 1997).
Namun, menurut para ahli saat ini banyak ibu-ibu baru yang memberikan bayi mareka PASI, tetapi mereka menghentikannya lebih awal. Hal tersebut terjadi karena banyak sekali hubungan pengetahuan ibu dengan pemberian PASI.
Seiring dengan perkembangan zaman, terjadi pula peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat. Ironinya, pengetahuan lama yang mendasar seperti pemberian ASI justru kadang terlupakan. Padahal kehilangan pengetahuan dalam pemberian ASI merupakan kehilangan yang besar, karena pemberian ASI adalah suatu pengetahuan yang berjuta-juta tahun mempunyai peran penting dalam mempertahankan kehidupan manusia. Pengaruh kemajuan tehnologi dan perubahan sosial budaya juga mengakibatkan ibu-ibu diperkotaan umumnya bekerja diluar rumah dan makin meningkat. Ibu-ibu golongan ini menganggap lebih praktis membeli dan memberikan susu botol daripada menyusui, semakin meningkatnya jumlah angkatan kerja wanita diberbagai sektor, sehingga semakin banyak ibu harus meninggalkan bayinya sebelum berusia 4 bulan, setelah habis cuti bersalin. Hal ini menjadi kendala tersendiri bagi kelangsungan pemberian ASI eksklusif dan adanya mitos-mitos yang menyesatkan juga sering menghambat dalam pemberian ASI (Ebrahim, 1986).
Tingkat pengetahuan ibu yang kurang tentang pemberian PASI mengakibatkan kita lebih sering melihat bayi diberi susu botol dari pada disusui ibunya, bahkan kita juga sering melihat bayi yang baru berusia 1 bulan sudah diberi pisang atau nasi lembut sebagai tambahan ASI. Pemberian susu formula, makanan padat / tambahan yang terlalu dini dapat mengganggu. Pemberian ASI eksklusif serta meningkatkan angka kesakitan pada bayi. Selain itu tidak ditemukan bukti yang menyokong bahwa pemberian susu formula, makanan padat / tambahan pada usia 4 atau 5 bulan lebih menguntungkan. Bahkan sebaliknya, hal ini akan mempunyai dampak yang negatif terhadap kesehatan bayi dan tidak ada dampak positif untuk perkembangan pertumbuhannya (I Gde Manuaba, 1998).
Program peningkatan penggunaan ASI (PP-ASI) khususnya ASI eksklusif merupakan program prioritas, karena dampaknya luas terhadap status gizi dan kesehatan balita. Program prioritas ini berkaitan dengan kesepakatan global antara lain, deklarasi Incocenty (Italia) pada tahun 1990 tentang perlindungan, promosi dan dukungan terhadap penggunaan ASI, disepakati pula untuk pencapaian pemberian ASI eksklusif sebesar 80% pada tahun 2000 (Anwar, Harian Pelita, www.Depkes.co.id)
Pemberian ASI saja (ASI eksklusif) dianjurkan sampai bayi berumur 6 bulan kenyataannya di Indonesia hampir semua bayi mendapatkan ASI, namun hanya sekitar 52% ibu memberikan ASI eksklusif. Cakupan pemberian ASI eksklusif di Propinsi Lampung adalah 34,53% dari 57,208 (Laporan Tahunan Promkes tahun 2005). Cakupan pemberian ASI eksklusif di ............ ....... adalah 13,49% dari 2,950 (Laporan tahunan Dinkes ............ ....... 2004-2005. Di Puskesmas Pembantu Batanghari hanya 20% dari 100 bayi yang diberikan PASI (Laporan Puskesmas Pembantu 2006).
Berdasarkan hasil pra survey yang telah dilakukan oleh penulis di Wilayah Puskesmas Pembantu Batanghari ............ ....... 2006, didapatkan dari 100 bayi terdapat 20 bayi (20 %) yang tidak diberikan ASI eksklusif. Dilihat dari tingkat pendidikan ibu di wilayah Puskesmas Pembantu Batanghari rata-rata pendidikan ibu SMP, sehingga ibu memberikan bermacam-macam makanan seperti susu formula, air teh, nasi lembut, pisang.
Melihat hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengetahui hubungan pengetahuan ibu dengan pemberian makanan atau minuman pendamping ASI pada ibu menyusui di Wilayah Puskesmas Pembantu Batanghari ............ ........

1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, di Indonesia terdapat 52% ibu menyusui yang memberikan ASI eksklusif di Lampung; 34,53% ibu-ibu menyusui yang memberikan ASI eksklusif di ............ ....... 13,49%; ibu-ibu menyusui yang memberikan ASI eksklusif. Desa Batanghari terdapat 20% ibu-ibu menyusui yang memberikan PASI pada usia 0-6 bulan. Dari hasil pra survey, ternyata masih banyak bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif di Wilayah Puskesmas Pembantu Batanghari ............ ........

1.3 Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian PASI pada bayi 0-6 bulan di Wilayah Puskesmas Pembantu Batanghari ............ ........

1.4 Pertanyaan Penelitian
Bagaimana hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan pemberian PASI pada bayi 0-6 bulan di Wilayah Puskesmas Batanghari ............ ........

1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pengetahuan ibu tentang ASI terhadap pemberian PASI pada bayi 0-6 bulan di Wilayah Puskesmas Pembantu Batanghari ............ ........
1.5.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui karateristik responden yang memberikan PASI pada bayi 0 – 6 bulan (Umur, Paritas, Pendidikan, Pekerjaan, Wilayah Puskesmas Pembantu Batanghari ............ ....... 2010.
2. Mengetahui hubungan pengetahuan ibu terhadap pemberian PASI pada bayi 0-6 bulan di Wilayah Puskesmas Pembantu Batanghari ............ ....... 2010.

1.6 Manfaat Penelitian
1.6.1 Bagi Institusi Akademi Kebidanan Wirabuana.
Sebagai salah satu bahan pustaka bagai peneliti selanjutnya.
1.6.2 Bagi Puskesmas Pembantu Batanghari
Diharapkan akan memberi manfaat sebagai bahan masukan atau tambahan dalam memberikan pengetahuan pada ibu menyusui.
1.6.3 Bagi Ibu
Khususnya ibu menyusui diharapkan dapat menambah dan meningkatkan pengetahuan ibu tentang cara pemberian PASI
1.6.4 Bagi Penulis
Dapat menambah wawasan keilmuan dan pengalaman dalam memberikan Asuhan Kebidanan kepada ibu.
1.7 Ruang Lingkup Penelitian
1.7.1 Jenis penelitian : Deskriptif
1.7.2 Objek penelitian :
a. Variabel Terikat : PASI
b. Variabel Bebas : 1. Karakteristik Responden
2. Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang ASI
terhadap Pemberian PASI
1.7.3 Subjek Penelitian : Ibu menyusui yang mempunyai bayi 0-6 bulan
1.7.4 Lokasi Penelitian : Di Wilayah Puskesmas Pembantu Batanghari ............ ........
1.7.5 Waktu Penelitian : Januari s/d Mei 2010

silahkan download dalam bentuk dokumen word KTI KEBIDANAN
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG ASI TERHADAP PEMBERIAN PASI PADA BAYI 0-6 BULAN DI PUSKESMAS
(isi: Pendahuluan; Tinjauan Pustaka; Metodelogi Penelitian;
Hasil Penelitan dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran)

Gambaran Pengetahuan Ibu tentang Penyakit Pneumonia pada Balita di Puskesmas

KTI KEBIDANAN / KEPERAWATAN
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PENYAKIT PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Gangguan pada system pernafasan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Infeksi pada saluran pernafasan jauh lebih sering terjadi dibandingkan dengan infeksi pada system organ tubuh lain dan berkisar dari flu biasa dengan gejala-gejala serta gangguan yang relative ringan sampai Pneumonia berat.
Pneumonia adalah radang paru-paru yang disebabkan oleh bermacam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing(1). Jadi kesimpulannya Pneumonia adalah radang paru yang dimana terdapat konsolidasi yang disebabkan pengisian rongga alveoli atau bronkus oleh eksudat yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.
Data yang diperoleh dari WHO dan UNICEF 50 persen dari pneumonia disebabkan oleh kuman ‘sterptokokus pneumonia’ (IPD) dan 30 persen oleh Haemophylus Influenza type B (HIB), sisanya oleh virus dan penyebab lain secara global, sekitar 1,6 juta kematian setiap tahun disebabkan oleh penyakit ‘streptokokus pneumonia’, didalamnya 700.000 hingga 1 (satu) juta balita terutama berasal dari Negara berkembang. Secara nasional angka kejadian pneumonia belum diketahui secara pasti data yang ada baru berasal dari laporan Subdit ISPA Ditjen P2M-PL Depkes RI tahun 2007 dari 31 provinsi ditemukan 477.429 balita dengan pneumonia atau 21,52 persen dari jumlah seluruh balita di Indonesia.
Data Ibu yang mempunyai balita di Puskesmas ....... Kabupaten ......... selama 6 bulan (Juli-Desember 2009) dengan rincian Juli 3156 Ibu, Agustus 3156, September 3156, Oktober 3182, Nopember 3162, Desember 3155 Ibu yang mempunyai balita.
Data yang diperoleh di Puskesmas ....... Kabupaten ......... di Ruang MTBS dari bulan Juli 2009 sampai dengan Desember 2009 berjumlah 113 kasus, dengan rincian. Pada bulan Juli 15 balita, Agustus 12 balita, September 22 balita, Oktober 15 balita, November 25 balita dan Desember 24 balita yang menderita penyakit pneumonia yang berobat ke ruang MTBS Puskesmas ....... Kabupaten ..........
Menurut data yang penulis ketahui yang didapat di ruangan MTBS Puskesmas ....... Kabupaten ......... terdapat 113 balita usia 1-5 tahun yang terdaftar pernah berobat ke bagian MTBS Puskesmas ....... Kabupaten ......... pada 6 bulan terakhir dari Juli-Desember 2009. Dari 113 balita penderita pneumonia tidak ada penderita yang dirujuk ataupun meninggal, hanya mengikuti pengobatan di bagian MTBS Puskesmas ....... Kabupaten ..........
Dilihat dari data yang diperoleh selama 6 bulan dari Juli-Desember 2009 yaitu 113 kasus, angka kejadian cenderung meningkat atau tetap tidak ada penurunan. Dan banyaknya angka kejadian penyakit pneumonia di puskesmas ....... bisa disebabkan diantaranya tingkat pendidikan responden yang dari pengamatan langsung di lapangan didapatkan informasi bahwa sebagian besar pendidikan ibu-ibu yang mempunyai balita dengan penyakit pneumonia di Puskesmas ....... hanya tamatan SD (Sekolah Dasar). Sehingga penulis mengambil kesimpulan bahwa adanya banyak angka kejadian penyakit pneumonia dikarenakan kurangnya gambaran pengetahuan ibu tentang penyakit pneumonia.
Pengetahuan adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya termasuk manusia dan kehidupannya. Pengetahuan mencakup penalaran, penjelasan dan pemahaman manusia tentang segala sesuatu(9).
Apa bila ibu yang mempunyai pengetahuan baik maka akan bersifat langgeng dalam arti ibu yang mempunyai balita dapat mengatasi permasalahan ataupun menangani apabila balitanya mengalami penyakit pneumonia dan begitupun sebaliknya apabila ibu yang mempunyai pengetahuan yang buruk maka akan bersifat tidak langgeng dalam arti ibu yang mempunyai balita tidak dapat mengatasi permasalahan ataupun menangani apabila balitanya mengalami penyakit pneumonia.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka peneliti bergerak untuk meneliti tentang gambaran pengetahuan ibu tentang penyakit pneumonia pada balita di Puskesmas ....... Kabupaten ......... tahun 2010.

1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang penyakit pneumonia pada balita di Puskesmas ....... Kabupaten ......... tahun 2010”?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran pengetahuan ibu tentang penyakit pneumonia pada balita di Puskesmas ....... Kabupaten ..........
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengidentifikasi gambaran pengetahuan ibu tentang pengertian penyakit pneumonia pada balita ( 1-5 tahun ) di Puskesmas ....... Kabupeten ......... tahun 2010.
b. Untuk mengidentifikasi gambaran pengetahuan ibu tentang penyebab penyakit pneumonia pada balita ( 1-5 tahun ) di Puskesmas ....... Kabupaten ......... tahun 2010.
c. Untuk mengidentifikasi gambaran pengetahuan ibu tentang penatalaksanaan dari penyakit pneumonia di Puskesmas ....... Kabupaten ......... tahun 2010.


1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak antara lain :
1.4.1 Bagi Instansi Pendidikan
Dengan adanya penelitian ini diharapkan memberikan literature tambahan bagi instansi pendidikan khususnya instansi kesehatan untuk mengembangkan tentang penyakit pneumonia.
1.4.2 Bagi Tempat Penelitian
Sebagai bahan masukan untuk dapat meningkatkan upaya pelayanan kesehatan pada masyarakat tentang penyakit pneumonia.
1.4.3 Bagi Responden
Dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa memberikan pengetahuan pada ibu-ibu tentang penyakit pneumonia pada balita.

1.5 Ruang Lingkup
Dalam penelitian ini membahas tentang bagaimana gambaran pengetahuan ibu tentang penyakit pneumonia di Puskesmas ....... Kabupaten ......... yang meliputi pengertian, penyebab dan penatalaksanaan dipandang dari sudut ilmu keperawatan.


silahkan download dalam bentuk dokumen word
KTI KEBIDANAN
GAMBARAN PENGETAHUAN IBU TENTANG PENYAKIT PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS
(isi: Pendahuluan; Tinjauan Pustaka; Metodelogi Penelitian;
Hasil Penelitan dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran; Daftar Pustaka)

Hubungan antara Pemberian Makanan Tambahan Dini dengan Pertumbuhan Berat Badan Bayi

KTI KEBIDANAN / KTI D 3 GIZI
HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN DINI DENGAN PERTUMBUHAN BERAT BADAN BAYI

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
ASI merupakan makanan alami pertama untuk bayi dan harus diberikan tanpa makanan tambahan sekurang-kurangnya sampai usia 4 bulan dan jika mungkin sampai usia 6 bulan. ASI harus menjadi makanan utama selama tahun pertama bayi dan menjadi makanan penting selama tahun kedua. ASI terus memberikan faktor-faktor anti infeksi unik yang tidak dapat diberikan oleh makanan lain (Rosidah, 2008).
Setelah usia 4 bulan sampai 6 bulan disamping ASI dapat pula diberikan makanan tambahan, namun pemberiannya harus diberikan secara tepat meliputi kapan memulai pemberian, apa yang harus diberikan, berapa jumlah yang diberikan dan frekuensi pemberian untuk menjaga kesehatan bayi (Rosidah, 2008). Sehingga saat mulai diberikan makanan tambahan harus disesuaikan dengan maturitas saluran pencernaan bayi dan kebutuhannya (Narendra, dkk, 2008).
Di negara-negara yang sudah maju seperti Eropa dan Amerika, makanan padat sebelum tahun 1970 diberikan pada bulan-bulan pertama setelah bayi dilahirkan, akan tetapi setelah tahun tersebut banyak dilaporkan tentang kemungkinan timbulnya efek sampingan jika makanan tersebut diberikan terlalu dini. Waktu yang baik untuk memulai pemberian makanan padat biasanya pada umur 4 – 5 bulan. Resiko pada pemberian sebelum umur tersebut antara lain adalah kenaikan berat badan yang terlalu cepat hingga menjurus ke obesitas (Pudjiadi, 2008).
Hasil penelitian oleh para pakar menunjukkan bahwa gangguan pertumbuhan pada awal masa kehidupan balita, antara lain disebabkan kekurangan gizi sejak bayi dalam kandungan, pemberian makanan tambahan terlalu dini atau terlalu lambat, makanan tambahan tidak cukup mengandung energi dan zat gizi mikro terutama mineral besi dan seng, perawatan bayi yang kurang memadai dan ibu tidak berhasil memberikan ASI eksklusif kepada bayinya (Supriyono, 2008).
Menurut Cesilia M. Reveriani, pakar gizi anak Institut Pertanian Bogor (IPB) yang menguraikan hasil survey penggunaan makanan pendamping ASI sekitar 49% bayi sebelum usia 4 bulan sudah diberi susu formula, 45,1% makanan cair selain susu formula dan 50% makanan padat. Pemberian susu formula makanan pendamping ASI cair dan yang diberikan pada bayi kurang dari 4 bulan cenderung dengan intensitas atau frekuensi yang sangat tinggi sehingga dapat membahayakan dan berakibat kurang baik pada anak, yang dampaknya adalah kerusakan pada usus bayi. Karena pada umur demikian usus belum siap mencerna dengan baik sehingga pertumbuhan berat badan bayi terganggu, antara lain adalah kenaikan berat badan yang terlalu cepat sehingga ke obesitas dan malnutrisi.
Pada Indonesia sehat 2010, target ASI eksklusif selama 4 bulan adalah 80%. Penelitian di Kabupaten ............ ...... ...... tahun 2008 menunjukkan sebagian besar responden (59%) memberikan makanan tambahan sebelum bayi berusia 4 bulan dan 41% memberikan makanan tambahan kepada bayinya saat bayi berusia 4 bulan atau lebih (Supriyono, 2008).
Di Indonesia terutama di daerah pedesaan sering kita jumpai pemberian makanan tambahan mulai beberapa hari setelah bayi lahir. Kebiasaan ini kurang baik karena pemberian makanan tambahan dini dapat mengakibatkan bayi lebih sering menderita diare, mudah alergi terhadap zat makanan tertentu, terjadi malnutrisi atau gangguan pertumbuhan anak, produksi ASI menurun (Narendra, dkk, 2008).
Pada dasarnya dapat diharapkan bahwa bayi tidak akan makan secara berlebihan yaitu diberi makanan tambahan dini karena akan berakibat penambahan berat badan berlebihan (Behrman dan Vaughan, 2005).
Data dari Dinas Kesehatan Kota ........... tahun 2008 menunjukkan bahwa dari 48.974 bayi, 16.729 bayi (33,11%) sudah mendapat makanan tambahan sebelum usia 4 bulan, di kecamatan Mulyorejo dari 1.603 bayi, 1.254 bayi (78,23%) sudah mendapat makanan tambahan sebelum usia 4 bulan. Dan di BPS ...... ....... ......... ..... ........... saat penelitian pendahuluan pada bulan Mei 2010 dari 10 bayi, 7 bayi (70%) diantaranya sudah mendapat makanan tambahan sebelum usia 4 bulan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah :
Adakah hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi pemberian makanan tambahan.
1.3.2.2 Mengidentifikasi pertumbuhan berat badan bayi usia 4 bulan.
1.3.2.3 Menganalisa hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi.

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Menambah wawasan peneliti dalam mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan tentang pemberian makanan tambahan.
1.4.2 Bagi BPS
Sebagai bahan masukan bagi BPS dalam menggalakkan KIE program ASI eksklusif dan pemberian makanan tambahan.
1.4.3 Bagi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Menambah wawasan dalam bidang gizi mengenai hubungan antara pemberian makanan tambahan dini dengan pertumbuhan berat badan bayi


silahkan download dalam bentuk dokumen word
KTI KEBIDANAN / KTI D 3 GIZI
HUBUNGAN ANTARA PEMBERIAN MAKANAN TAMBAHAN DINI DENGAN PERTUMBUHAN BERAT BADAN BAYI
(isi: Pendahuluan; Tinjauan Pustaka; Metodelogi Penelitian;
Hasil Penelitan dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran; Daftar Pustaka)

Karakteristik Penderita Perdarahan Antepartum yang dirawat Inap di RS

ABSTRAK

Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah kehamilan 28 minggu yang disebabkan plasenta previa, solusio plasenta, dan penyebab lain. Insidens plasenta previa dan solusio plasenta di Indonesia masing-masing 0,5% dan 2%. Di Rumah Sakit ................. ......... terdapat kasus perdarahan antepartum sebanyak 85 kasus selama tahun 2004-2008.
Untuk mengetahui karakteristik penderita perdarahan antepartum yang dirawat inap di Rumah Sakit ................. ......... tahun 2004-2008, dilakukan penelitian deskriptif dengan desain case series. Populasi dan sampel 85 data penderita (total sampling). Data dianalisis secara deskriptif menggunakan uji chi- square, Exact Fisher, t, dan Kruskal- Wallis
Kecenderungan kunjungan penderita perdarahan antepartum berdasarkan data tahun 2004-2008 menunjukkan penurunan dengan persamaan garis y = -3,8x + 28,4. Proporsi sosiodemografi tertinggi : umur 20-35 tahun 81,2%, suku Batak 84,7%, agama Kristen Protestan 64,7%, pekerjaan ibu rumah tangga 52,9%, dan daerah asal kota ......... 89,4%. Proporsi mediko obstetri tertinggi : paritas nullipara 34,2%, usia kehamilan >28 minggu 82,4%, penyebab perdarahan plasenta previa 92,9%, ada riwayat kehamilan/persalinan jelek 25,9% yaitu seksio cesarea 50,0%. Proporsi gejala objektif tertinggi : kadar Hb <11 gr% 36,5%, anemia ringan 96,8%, tekanan darah sistolik rendah 58,8% dan diastolik normal 49,4%, tinggi fundus uteri normal 83,5%, dan denyut jantung janin normal 98,8%. Proporsi status rawatan tertinggi : rujukan 71,8% yaitu dokter spesialis kandungan 90,2%, penatalaksanaan medis aktif 77,6%, keadaan bayi lahir hidup 95,5%, dan keadaan ibu sewaktu pulang sembuh 84,7%. Lama rawatan rata-rata ibu 5,79 hari (6 hari). Tidak ada perbedaan yang bermakna proporsi penatalaksanaanan medis berdasarkan penyebab perdarahan. (p= 0,580); lama rawatan rata-rata ibu berdasarkan penyebab perdarahan (p= 0, 733); lama rawatan rata-rata ibu berdasarkan penatalaksanaan medis (p= 0,058). Lama rawatan rata-rata penderita yang pulang bero bat jalan secara bermakna lebih lama daripada sembuh dan atas permintaan sendiri (F=4, 765; p=0,030; 7,67 hari vs 5,68 hari vs 3,50 hari).
Diharapkan dokter dan perawat lebih memberikan informasi kepada ibu hamil mengenai penyakit dan komplikasi kehamilan dan bagian rekam medik melengkapi pencatatan pada kartu status serta ibu yang mempunyai faktor-faktor resiko agar waspada dan selalu memeriksakan kehamilannya secara teratur.
Kata Kunci : Perdarahan Antepartum, Karakteristik Penderita

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Derajat kesehatan penduduk merupakan salah satu indikator kualitas sumber daya manusia. Pencapaian kualitas sumber daya manusia sejak dini sangat berhubungan dengan proses kehamilan, persalinan, maupun masa nifas.1
Salah satu tantangan dalam mencapai derajat kesehatan masyarakat adalah masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia.2 AKI merupakan salah satu parameter kemampuan suatu negara dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat.3
Menurut World Health Organization (2007), pada tahun 2005 AKI di dunia 400 per 100.000 kelahiran hidup, negara maju AKI 9 per 100.000 kelahiran hidup, dan negara berkembang 450 per 100.000 kelahiran hidup. Di Afrika AKI 820 per 100.000 kelahiran hidup, Asia 330 per 100.000 kelahiran hidup, Amerika Latin dan Karibia 130 per 100.000 kelahiran hidup, dan Oceania 430 per 100.000 kelahiran hidup.4
Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992 AKI di Indonesia 420 per 100.000 kelahiran hidup, 390 per 100.000 kelahiran hidup tahun 1994 dan 373 per 100.000 kelahiran hidup tahun 1995.5
Menurut Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003, AKI di Indonesia 307 per 100.000 kelahiran hidup, artinya lebih dari 18.000 ibu tiap tahun atau dua ibu tiap jam meninggal oleh sebab yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan nifas. Dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, AKI di Indonesia adalah tertinggi. Dapat dilihat pada tahun 2002 AKI di Thailand 44 per 100.000 kelahiran hidup, di Brunai 39 per 100.000 kelahiran hidup, dan di Myanmar 255 per 100.000 kelahiran hidup.6
Di ...................... pada tahun 2002 AKI 360 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2003 AKI 345 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2004 AKI 330 per 100.000 kelahiran hidup dan tahun 2005 AKI 315 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini menunjukkan AKI cenderung menurun tetapi bila dibandingkan dengan target yang ingin dicapai secara nasional pada tahun 2010, yaitu sebesar 150 per 100.000 kelahiran hidup, maka apabila penurunannya masih seperti tahun-tahun sebelumnya diperkirakan target tersebut di masa mendatang tidak tercapai.1
Berdasarkan Profil Kesehatan Kota ......... tahun 2002 bahwa pada tahun 2000 AKI 172 per 100.000 kelahiran hidup, tahun 2001 AKI 165 per 100.000 kelahiran hidup dan tahun 2002 AKI juga sebesar 165 per 100.000 kelahiran hidup.7
Kematian ibu hamil dapat terjadi dengan tiga peristiwa dalam satu rangkaian, yaitu seorang wanita hamil, menderita komplikasi obstetrik, dan komplikasi tersebut menyebabkan kematian.8 Tingginya angka kematian ibu disebabkan oleh trias klasik, yaitu perdarahan, preeklamsia/eklamsia, dan infeksi yang merupakan penyebab kematian obstetrik secara langsung dimana penyebab yang paling banyak adalah perdarahan.9 Menurut SKRT 2001, proporsi penyebab obstetrik langsung 90%, sebagian besar disebabkan oleh perdarahan dengan proporsi 28%, eklamsia 24%, dan infeksi 11%.10
Kasus perdarahan sebagai sebab utama kematian maternal dapat terjadi pada masa kehamilan, persalinan, dan pada masa nifas.11 Perdarahan pada kehamilan harus selalu dianggap sebagai kelainan yang berbahaya. Perdarahan pada masa kehamilan muda disebut keguguran atau abortus, sedangkan pada kehamilan tua disebut perdarahan antepartum. Batas teoritis antara kehamilan muda dan kehamilan tua adalah 28 minggu, mengingat kemungkinan hidup janin di luar uterus.12 Penyebab perdarahan antepartum antara lain plasenta previa, solusio plasenta, dan perdarahan yang belum jelas sumbernya.12,13
Di RSU Palembang dilaporkan 429 kasus perdarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa dari 14.765 persalinan (proporsi 2,9%) selama tahun 1986-1990. Perdarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa di RSU Banda Aceh tahun 1990 dilaporkan 11 kasus dari 655 persalinan (proporsi 1,7%), sedangkan yang disebabkan oleh solusio plasenta dilaporkan 2 kasus dari 655 persalinan (proporsi 0,3%).14
Perdarahan antepartum akibat solusio plasenta di RSUD Dr.Moewardi Surakarta pada tahun 2001-2003 tercatat sebanyak 32 kasus dari 4.878 persalinan (proporsi 0,65%) atau 1 kasus tiap 154 persalinan.7 Di RSUD Arifin Achmad Pekan Baru pada tahun 2002-2006 tercatat sebanyak 33 kasus dari 12.709 persalinan (proporsi 0,26%).15
Menurut penelitian ME Simbolon (2004) di RS ................. ......... selama kurun waktu 1999-2003. Pada tahun 1999 sebanyak 21 kasus, tahun 2000 sebanyak 28 kasus, tahun 2001 sebanyak 34 kasus, tahun 2002 sebanyak 18 kasus, dan tahun 2003 sebanyak 15 kasus. Perdarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa tercatat 90 kasus dari 116 kasus perdarahan antepartum (proporsi 77,6%), sedangkan perdarahan antepartum yang disebabkan oleh solusio plasenta tercatat 17 kasus dari 116 kasus perdarahan antepartum (proporsi 14,7%).16
Di RS Dr. Pirngadi ......... selama kurun waktu 2001-2004, FR Bangun menemukan 126 kasus perdarahan antepartum dari 5040 persalinan (proporsi 2,5%). Perdarahan antepartum yang disebabkan oleh plasenta previa tercatat 96 kasus dari 126 kasus perdarahan antepartum (proporsi 76,2%), sedangkan perdarahan yang disebabkan oleh solusio plasenta tercatat 25 kasus dari 126 kasus perdarahan antepartum (proporsi 19,8%).17
Pada survei pendahuluan yang telah dilakukan di Rumah Sakit ................. ......... terdapat kasus perdarahan antepartum sebanyak 77 kasus selama tahun 2004-2008. Pada tahun 2004 sebanyak 18 kasus, tahun 2005 sebanyak 34 kasus, tahun 2006 sebanyak 10 kasus, tahun 2007 sebanyak 14 kasus, dan tahun 2008 sebanyak 9 kasus.
Berdasarkan latar belakang di atas perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik penderita perdarahan antepartum yang dirawat inap di Rumah Sakit ................. ......... tahun 2004-2008.

1.2. Rumusan Masalah
Belum diketahui karakteristik penderita perdarahan antepartum yang dirawat inap di Rumah Sakit ................. ......... tahun 2004-2008.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui karakteristik penderita perdarahan antepartum yang dirawat inap di Rumah Sakit ................. ......... tahun 2004-2008.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui trend kunjungan penderita perdarahan antepartum berdasarkan data tahun 2004-200 8.
b. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita perdarahan antepartum berdasarkan sosiodemografi (umur, suku, agama, pendidikan, pekerjaan, dan daerah asal).
c. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita perdarahan antepartum berdasarkan mediko obstetri (paritas, keluhan, usia kehamilan, penyebab perdarahan, dan riwayat kehamilan/persalinan jelek)
d. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita perdarahan antepartum berdasarkan gej ala objektif (kadar Hb, tekanan darah, tinggi fundus uteri, keadaan uterus, denyut jantung janin)
e. Untuk mengetahui distribusi proporsi penderita perdarahan antepartum berdasarkan status rawatan (asal rujukan, penatalaksanaan medis, keadaan janin, keadaan bayi, keadaan bayi sewaktu pulang, keadaan ibu sewaktu pulang).
f. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata bayi penderita perdarahan antepartum.
g. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata ibu yang mengalami perdarahan antepartum.
h. Untuk mengetahui perbedaan proporsi paritas berdasarkan penyebab perdarahan.
i. Untuk mengetahui perbedaan proporsi keadaan janin berdasarkan penyebab perdarahan.
j. Untuk mengetahui perbedaan proporsi penatalaksanaan medis berdasarkan penyebab perdarahan.
k. Untuk mengetahui perbedaan proporsi penatalaksanaan medis berdasarkan keadaan ibu sewaktu pulang.
l. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata ibu berdasarkan penyebab perdarahan.
m. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata ibu berdasarkan penatalaksanaan medis.
n. Untuk mengetahui lama rawatan rata-rata ibu berdasarkan keadaan ibu sewaktu pulang.

1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Sebagai bahan informasi dan masukan bagi Rumah Sakit ................. ......... tentang karakteristik penderita perdarahan antepartum.
1.4.2. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang perdarahan antepartum dan sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk penelitian yang akan datang.

 silahkan download dalam bentuk dokumen word
KTI SKRIPSI KEBIDANAN / KEPERAWATAN / KEDOKTERAN
KARAKTERISTIK PENDERITA PERDARAHAN ANTEPARTUM YANG DIRAWAT INAP DI RS
(isi: Abstrak, Kata Pengantar, Daftar Isi, Pendahuluan; Tinjauan Pustaka; Metodelogi Penelitian;
Hasil Penelitan dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran; Daftar Pustaka)

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi pada Balita

 KTI SKRIPSI KEBIDANAN / GIZI/ KEPERAWATAN / 
KESEHATAN MASYARAKAT / KEDOKTERAN
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi derajat kesehatan yang besar bagi pembangunan dan pembinaan sumber daya manusia Indonesia dan sebagai modal bagi pelaksanaan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Anonim, 1992).
Banyak kendala dalam mencapai pembangunan kesehatan, sehingga perlu adanya program kesehatan yang menyentuh langsung ke sasaran. Kendala itu diantaranya adalah masalah gangguan gizi yang masih banyak terjadi di daerah-daerah. Salah satu gangguan gizi adalah gizi buruk.
Penyebab utama gizi buruk pada balita adalah kemiskinan sehingga akses pangan anak terganggu. Namun masalah gizi buruk pada balita bukan hanya disebabkan oleh kemiskinan, (masalah struktural) tapi juga karena aspek sosial dan budaya hingga menyebabkan tindakan yang tidak menunjang tercapainya gizi yang memadai untuk balita (masalah individual dan keluarga).
Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek (http://www.koalisi.org/dokumen).
Berdasarkan data Departemen Kesehatan (2004), pada tahun 2003 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita kurang gizi), 3,5 juta anak (19,2%) dalam tingkat gizi kurang, dan 1,5 juta anak gizi buruk (8,3%).
Jumlah gizi buruk pada balita di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Dari tahun 2005 jumlah kasus gizi buruk pada balita sebanyak 8.349 orang atau 8,8% dan pada tahun 2007 balita yang mengalami kasus gizi buruk meningkat menjadi 700.000. Sementara yang mendapat program makanan tambahan hanya 39 ribu anak.
Di provinsi Jawa Barat tahun 2005 kasus yang menimpa anak-anak di bawah umur lima tahun (balita) rata-rata naik dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 6.687 orang yang dibedakan ke dalam kategori gizi lebih, gizi baik, gizi kurang dan gizi buruk. Untuk balita yang memperoleh status gizi lebih yaitu sebanyak 213 orang atau sekitar 3,20%, untuk balita yang memperoleh status gizi baik sebanyak 5003 orang atau sekitar 74,80%, untuk balita yang memperoleh status gizi kurang yaitu sebanyak 108 orang atau sekitar 16,20%, untuk balita yang memperoleh status gizi buruk yaitu sebanyak 386 orang atau sekitar 5,8%.
Di Kabupaten ............. tahun 2007 jumlah balita sebanyak 86.832 orang dengan jumlah balita ditimbang sebanyak 81.081 orang. Untuk balita yang memperoleh status gizi baik berdasarkan berat badan menurut umur yaitu sebanyak 69.397 orang atau sekitar 85,59%, untuk balita yang memperoleh status gizi lebih yaitu sebanyak 1.032 orang atau sekitar 1,273%, untuk balita yang memperoleh status gizi kurang yaitu sebanyak 9.257 orang atau sekitar 11,417% dan untuk balita yang memperoleh status gizi buruk yaitu sebanyak 1.395 orang atau sekitar 1,6%.
Meskipun rata-rata presentasi gizi buruk di Kabupaten lebih kecil dari provinsi namun bila dilihat lebih jauh menurut Puskesmas di wilayah ............. terdapat beberapa wilayah yang angkanya lebih besar dari rata-rata Kabupaten dan juga rata-rata Provinsi. Yaitu ........ 9,4%; Sumber Jaya 9,4%; Suka Mulya 3,8%; Lemah Sugih 3,5%.
Adapun data Puskesmas ........ tahun 2007 berdasarkan data dari Dinkes Kabupaten ............. yaitu jumlah balita sebanyak 1.459 orang dengan jumlah balita yang ditimbang sebanyak 1.404 orang. Untuk balita yang memperoleh status gizi baik berdasarkan berat badan menurut umur yaitu sebanyak 1.135 orang atau sekitar 80,8%; untuk balita yang memperoleh status gizi lebih yaitu sebanyak 11 orang atau sekitar 0,8%; untuk balita yang memperoleh status gizi kurang yaitu sebanyak 127 orang atau sekitar 9% dan untuk balita yang memperoleh status gizi buruk yaitu sebanyak 131 orang atau sekitar 9,4%.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan di atas peneliti menemukan bahwa kejadian gizi buruk di wilayah kerja Puskesmas ........ merupakan masalah dibandingkan dengan wilayah lain. Sehingga peneliti tertarik untuk meneliti faktor apa saja yang berhubungan dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas .........

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas ........ tahun 2010.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Diketahuinya hubungan pengetahuan ibu terhadap status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas ........ tahun 2010
1.3.2.2 Diketahuinya hubungan pendidikan ibu terhadap status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas ........ tahun 2010
1.3.2.3 Diketahuinya hubungan sosial ekonomi terhadap status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas ........ tahun 2010

1.4 Ruang Lingkup
Penelitian ini mencakup faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi (pengetahuan ibu, pendidikan ibu, dan sosial ekonomi) di wilayah kerja Puskesmas ........ Tahun 2010.

1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi beberapa pihak antara lain:
1.5.1 Bagi Penulis
Dapat dijadikan pengalaman dalam menerapkan ilmu yang didapat di lahan praktek dengan memperoleh pengetahuan luas tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada balita di Puskesmas .........
1.5.2 Bagi Puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan sebagai masukan mengenai status gizi di wilayah kerja Puskesmas .........
1.5.3 Bagi Institusi Pendidikan
Penulis berharap penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah kepustakaan tentang status gizi pada balita, khususnya bagi mahasiswa STIKes ............. dan pembaca pada umumnya.


 silahkan download dalam bentuk dokumen word
KTI KEBIDANAN / GIZI/ KEPERAWATAN / 
KESEHATAN MASYARAKAT / KEDOKTERAN
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS GIZI PADA BALITA
(isi:  Pendahuluan; Tinjauan Pustaka; Metodelogi Penelitian;
Hasil Penelitan dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran; Daftar Pustaka, Kuesioner)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ibu dalam Memilih Penolong Persalinan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mortalitas dan Morbiditas pada wanita hamil dan bersalin merupakan masalah yang besar dinegara miskin dan berkembang seperti Indonesia. Menurut Women Of Our World 2005 yang diterbitkan oleh Population Reference Bureau (2005) Angka kematian Ibu (AKI) di Indonesia mencapai 230 kematian per 100.000 kelahiran hidup, angka ini masih sangat tinggi bila dibandingkan dengan beberapa Negara ASEAN.
Sebagian besar kematian perempuan disebabkan komplikasi karena hamil, bersalin dan nifas. Sebagian besar dari komplikasi – komplikasi tersebut sebenarnya dapat ditangani melalui penerapan teknologi kesehatan yang ada. Namun demikian banyak faktor yang membuat teknologi kesehatan kurang dapat diterapkan mulus ditingkat masyarakat diantaranya ketidaktahuan, kemiskinan, rendahnya status sosial ekonomi perempuan, terbatasnya kesempatan memperoleh informasi dan pengetahuan baru, hambatan membuat keputusan, terbatasnya akses memperoleh pendidikan memadai dan kelangkaan pelayanan kesehatan yang peka terhadap kebutuhan perempuan juga berperan terhadap situasi ini.
Faktor-faktor inilah yang menyebabkan masih banyak masyarakat Indonesia berorientasi pada pertolongan persalinan oleh dukun dengan segala keterbatasannya (Sarwono 2006).
Salah satu upaya pemerintah dalam rangka mempercepat penurunan Angka Kematian Ibu adalah dengan mendekatkan pelayanan kebidanan kepada setiap Ibu yang membutuhkan. Untuk itu sejak tahun 1990 telah ditempatkan bidan di desa dengan polindesnya. Dengan penempatan bidan di desa ini diharapkan peranan dukun makin berkurang sejalan dengan makin tingginya pendidikan dan pengetahuan masyarakat dan tersedianya fasilitas kesehatan, namun pada kenyataanya masih banyak persalinan yang tidak ditolong oleh bidan melainkan oleh dukun. Departemen kesehatan RI memperkirakan bahwa pertolongan persalinan oleh dukun masih mendominasi terutama didaerah pedesaan yaitu mencapai 75% sampai 80% (Manuaba 1998).
Masih banyaknya pengguna jasa dukun disebabkan beberapa faktor yaitu lebih mudahnya pelayanan dukun bayi, terjangkau oleh masyarakat baik dalam jangkauan jarak, ekonomi atau lebih dekat secara psikologi, bersedia membantu keluarga dalam berbagai pekerjaan rumah tangga serta berperan sebagai penasehat dalam melaksanakan berbagai upacara selamatan (Manuaba, 1998).
Keadaan tersebut menuntut peningkatan pelayanan kebidanan yang bermutu sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan tuntutan kesehatan masyarakat yang semakin meningkat.
Untuk kabupaten ..............., cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan sekitar 4.283 (71,5%) dari 5.986 persalinan. Yang paling rendah cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan adalah di Puskesmas ............. Pada tahun 2005 jumlah persalinan diwilayah kerja puskesmas ............ adalah 158 orang, dari jumlah tersebut 92 (58,61%) ditolong oleh dukun dan 66 (41,39%) ditolong oleh bidan. Dan pada tahun 2006 jumlah persalinan mencapai 177 orang dimana 84 (47,81%) ditolong oleh bidan dan 93 (52,19%) ditolong oleh dukun. Dengan demikian rata-rata pemilihan pertolongan persalinan oleh dukun di wilayah kerja puskesmas ............ pada dua tahun terakhir (2005-2006) sekitar 53,21%. Dari pertolongan persalinan oleh dukun ini menimbulkan berbagai masalah diantaranya partus lama mencapai 5%, infeksi 3,6% dan kematian bayi baru lahir 2% (profil kabupaten ...............).
Sarana kesehatan yang tersedia diwilayah kerja Puskesmas ............ yaitu Polindes 4 buah. Tenaga bidan di Puskesmas ............ 3 orang, setiap bulannya pertolongan persalinan rata-rata 3 sampai 4 orang (Profil Puskesmas ............).
Berdasarkan permasalahan-permasalahan diatas penulis tertarik mengadakan penelitian untuk menggali faktor-faktor apa yang mempengaruhi Ibu dalam memilih penolong persalinan.

B. Perumusan Masalah
Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi Ibu dalam memilih penolong persalinan diwilayah kerja Puskesmas ............ Kabupaten ............... ........... ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi Ibu dalam memilih penolong persalinan diwilayah kerja Puskesmas ............ Kabupaten ............... ............
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengetahuan ibu tentang penolong persalinan.
b. Untuk mengetahui sikap Ibu terhadap penolong persalinan.
c. Untuk mengetahui penghasilan Ibu yang mendukung dalam pengambilan keputusan untuk memilih penolong persalinan.
d. Untuk mengetahui jarak rumah Ibu dengan penolong persalinan.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas kesehatan kabupaten ...............
Sebagai masukan tentang kualitas pelayanan KIA dan dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan.
2. Bagi Puskesmas ............
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang bagaimana Ibu memilih bidan dan dukun bayi sebagai penolong persalinan yang dapat dijadikan sebagai masukan dalam peningkatan kualitas pelayanan kebidanan.
3. Bagi Institusi Pendidikan.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian pustaka bagi kemajuan Ilmu Pengetahuan dan penelitian lebih lanjut.
4. Bagi Peneliti.
Menambah wawasan dan pengetahuan dalam penelitian dan meningkatkan pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi Ibu dalam memilih penolong persalinan.

 silahkan download dalam bentuk dokumen word
KTI KEBIDANAN FAKTOR-FAKTOR APA YANG MEMPENGARUHI IBU DALAM MEMILIH PENOLONG PERSALINAN
(isi:  Pendahuluan; Tinjauan Pustaka; Metodelogi Penelitian;
Hasil Penelitan dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran; Daftar Pustaka)

Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kejadian Gizi Buruk pada Balita di Puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Derajat kesehatan yang tinggi dalam pembangunan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, dan produktif. Salah satu unsur penting dari kesehatan adalah masalah gizi. Gizi sangat penting bagi kehidupan. Kekurangan gizi pada anak dapat menimbulkan beberapa efek negatif seperti lambatnya pertumbuhan badan, rawan terhadap penyakit, menurunnya tingkat kecerdasan, dan terganggunya mental anak. Kekurangan gizi yang serius dapat menyebabkan kematian anak (Suwiji, 2006)
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik. Status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya dan politik. Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007).
Kesepakatan global berupa Millenium Development Goals (MDGS) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa pada tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Untuk Indonesia, indikator yang digunakan adalah peresentase anak berusia di bawah 5 tahun (balita) yang mengalami gizi buruk (severe underweight) dan persentase anak-anak berusia 5 tahun (balita) yang mengalami gizi kurang (moderate underweight) (Ariani, 2007).
Masalah gizi di Indonesia yang terbanyak meliputi gizi kurang atau yang mencakup susunan hidangan yang tidak seimbang maupun konsumsi keseluruhan yang tidak mencukupi kebutuhan badan. Anak balita (1-5 tahun) merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi (KEP) atau termasuk salah satu kelompok masyarakat yang rentan gizi. (Himawan, 2006).
Masalah gizi makin lama makin disadari sebagai salah satu faktor penghambat proses pembangunan nasional. Masalah gizi yang timbul dapat memberikan berbagai dampak diantaranya meningkatnya Angka Kematian Bayi dan Anak, terganggunya pertumbuhan dan menurunnya daya kerja, gangguan pada perkembangan mental dan kecerdasan anak serta terdapatnya berbagai penyakit tertentu yang diakibatkan kurangnya asupan gizi. Masalah kekurangan zat gizi ada 4 yang dianggap sangat penting yaitu; kurang energi-protein, kurang Vitamin A, kurang Yodium (Gondok Endemik) dan kurang zat besi (Anemia Gizi Besi), (Paramata, 2009).
Kurang gizi atau gizi buruk dinyatakan sebagai penyebab tewasnya 3,5 juta anak di bawah usia lima tahun (balita) di dunia. Mayoritas kasus fatal gizi buruk berada di 20 negara, yang merupakan negara target bantuan untuk masalah pangan dan nutrisi. Negara tersebut meliputi wilayah Afrika, Asia Selatan, Myanmar, Korea Utara, dan Indonesia. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal kesehatan Inggris The Lanchet ini mengungkapkan, kebanyakan kasus fatal tersebut secara tidak langsung menimpa keluarga miskin yang tidak mampu atau lambat untuk berobat, kekurangan vitamin A dan zinc selama ibu mengandung balita, serta menimpa anak pada usia dua tahun pertama. Angka kematian balita karena gizi buruk ini terhitung lebih dari sepertiga kasus kematian anak di seluruh dunia (Malik, 2008).
Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Resiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek (Irwandy, 2007).
Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita adalah 5,4%, dan Gizi Kurang pada Balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi (20%), maupun target Millenium Development Goals pada 2015 (18,5%) telah tercapai pada 2007. Namun demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara,Sumatera Barat, Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008).
Tahun 2005 ditemukan 1,8 juta balita dengan status gizi buruk, dan dalam waktu yang sangat singkat menjadi 2,3 juta di tahun 2006. Sekitar 37,3 juta penduduk hidup dibawah garis kemiskinan, separo dari total rumah tangga mengkonsumsi kurang dari kebutuhan sehari-hari, 5 juta balita berstatus gizi kurang, dan lebih dari 100 juta penduduk berisiko terhadap berbagai masalah kurang gizi (Hadi, 2005).
Hasil pemantauan Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo tahun 2007 dari 24.248 balita yang ditimbang se Kabupaten Gorontalo, 494 balita atau dua persen diantaranya mengalami gizi buruk. Selain dibeberapa daerah kabupaten juga banyak ditemukan kasus gizi buruk misalnya di kabupaten Bone Bolango.
Berdasarkan data yang diperoleh dari survey Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2010 bahwa jumlah balita di kabupaten ......... yaitu 11.657 jiwa, dimana penderita gizi buruk sebanyak 628 (5,4 %) jiwa dan jumlah penderita gizi kurang sebanyak 2.493 (21,4 %) jiwa.
Data mengenai status gizi balita di Puskesmas ....... Kecamatan ....... tahun 2010 menunjukkan dari sejumlah 823 balita terdapat 426 balita gizi baik, 133 balita gizi kurang (16,16%) dan 56 balita gizi buruk (6,3%). Dari data di atas dapat dilihat bahwa masih tingginya jumlah kasus, baik kasus gizi kurang maupun kasus gizi buruk pada tahun 2010 di wilayah kerja Puskesmas ........ Dari jumlah penderita gizi buruk diatas, dapat dikategorikan masih tinggi dibanding jumlah standar nasional yang ditetapkan yaitu <1% dan untuk kejadian gizi kurang <15%.
Dari latar belakang inilah maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor Risiko kejadian gizi buruk pada balita Di Wilayah Kerja Puskesmas ....... Kecamatan ....... Kabupaten ......... tahun 2010 di tinjau dari pola makan, tingkat pengetahuan gizi ibu, tingkat pendapatan, dan penyakit infeksi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan sebagai berikut:
1. Berapa besar faktor risiko pola makan terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas ....... Kabupaten ......... tahun 2010?
2. Berapa besar faktor risiko tingkat pengetahuan gizi ibu dengan kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas ....... Kabupaten ......... tahun 2010?
3. Berapa besar faktor risiko tingkat pendapatan terhadap pola asuh ibu dengan kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas ....... Kabupaten ......... tahun 2010?
4. Berapa besar faktor risiko tingkat penyakit infeksi terhadap pola asuh ibu dengan kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas ....... Kabupaten ......... tahun 2010?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Faktor Risiko Kejadian Gizi Buruk Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas ....... Kecamatan ....... Kabupaten ......... Tahun 2010 ditinjau dari Pola Makan, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu, Tingkat Pendapatan, dan Penyakit Infeksi.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui faktor risiko pola makan terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas ....... Kabupaten ......... tahun 2010.
b. Untuk mengetahui faktor risiko tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas ....... Kabupaten ......... tahun 2010
c. Untuk mengetahui faktor risiko tingkat pendapatan terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas ....... Kabupaten ......... tahun 2010
d. Untuk mengetahui faktor risiko penyakit infeksi terhadap kejadian gizi buruk pada balita di wilayah kerja Puskesmas ....... Kabupaten ......... tahun 2010

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah
Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi salah satu sumber bacaan bagi para peneliti dimasa yang akan datang.
2. Manfaat Institusi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan bagi Dinas Kesehatan ......... khususnya bagi Puskesmas Paguyaman Pantai serta pihak lain dalam menentukan kebijakan untuk menekan dan menangani kasus gizi buruk dan gizi kurang pada bayi/anak balita.
3. Manfaat Praktis
Untuk mengetahui dan mendapatkan pengalaman yang nyata dalam melakukan penelitian khususnya mengenai beberapa faktor yang berhubungan dengan status gizi balita.

 silahkan download dalam bentuk dokumen word
KTI KEBIDANAN FAKTOR RISIKO YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN GIZI BURUK PADA BALITA DI PUSKESMAS
(isi:  Pendahuluan; Tinjauan Pustaka; Metodelogi Penelitian;
Hasil Penelitan dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran; Daftar Pustaka, kuesioner)

Sikap Ibu dalam Menghadapi Rendahnya Pengetahuan Seks Remaja 16-20 Tahun di Desa

ABSTRAK
SIKAP IBU DALAM MENGHADAPI RENDAHNYA PENGETAHUAN SEKS REMAJA 16-20 TAHUN DI DESA ......... KECAMATAN ......... KABUPATEN ......... TAHUN 2010

Pengetahuan seks remaja saat ini tidak jarang yang diperoleh hanya sebatas informasi bukan berupa pendidikan. Padahal anak sudah harus mendapatkan pendidikan seks sejak dini. Berdasar hasil praktek klinik lapangan di Desa ......... Kecamatan ......... Kabupaten ........., didapatkan data dari 50 orang remaja 36% diantaranya mempunyai pengetahuan yang rendah tentang pendidikan seks.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran atau informasi tentang sikap ibu dalam menghadapi rendahnya pengetahuan seks remaja 16-20 tahun.
Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif eksploratif subyek penelitian adalah 153 ibu yang mempunyai remaja 16-20 tahun teknik sampling yang digunakan adalah quota sampling. Pengumpulan data dengan menggunakan angket, dengan menggunakan metode skala likert. Kemudian data dimasukkan dalam rumus sehingga diperoleh prosentase yaitu sikap negatif dan sikap positif.
Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa 56,86% responden cenderung bersifat negatif dalam menghadapi rendahnya pengetahuan seks remaja 16-20 tahun.
Dari hasil tersebut perlu dilakukan penyuluhan agar ibu-ibu mengetahui cara menghadapi rendahnya pengetahuan seks remaja.
Kata kunci : rendahnya pengetahuan seks remaja 16-20 tahun.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pengetahuan seks remaja saat ini sering tidak tepat. Tidak jarang pengetahuan seks yang diperoleh hanyalah sebatas informasi, bukan berupa pendidikan. Padahal menurut Vania Djohan Salim (2006) anak sudah harus mendapatkan pendidikan seks sejak dini, tapi tetap dalam pemberian pendidikan tersebut harus disesuaikan dengan usia anak. Bagi remaja 11-15 tahun mereka harus sudah mulai mengenal mengenai sikap terhadap seks dan usia 16-20 tahun pengetahuan seks remaja harus sudah berkembang mengenai masalah keyakinan dan norma-norma, jadi diharapkan pada masa ini pengetahuan seks pada remaja sudah baik. Boyke Dian (2006) mengutip hasil sebuah penelitian para dokter di Jakarta, bahwa 10-12% remaja di Jakarta pengetahuan seksnya sangat kurang.
(www.glorianet.org/mow/serabi/seramene.html:2januari2006).
Pengetahuan seks yang rendah tidak hanya mendorong remaja untuk mencoba-coba, tapi juga bisa menimbulkan salah persepsi, misalnya saja, berciuman atau berenang dikolam renang yang “tercemar” sperma bisa mengakibatkan kehamilan, dan lain-lain. Beberapa akibat yang tentunya memprihatinkan ialah terjadinya pengguguran kandungan dengan berbagai resikonya, perceraian pasangan keluarga muda atau terjangkitnya penyakit menular seksual, termasuk HIV (www.google.com).
Dari hasil penelitian pada tahun 2006 di kelas 2 SMU Pawayatan Daha ........., terdapat 59 siswa (60,82%) mempunyai pengetahuan yang baik tentang pendidikan seks, dan 38 siswa (39,18%) memiliki pengetahuan yang kurang tentang pendidikan seks. Pengetahuan seks yang kurang terjadi karena minimnya peran orang tua dalam memberikan pendidikan seks pada anak-anaknya. Sebagian orangtua menganggap bahwa membicarakan masalah seks adalah sesuatu yang tabu (Ajen Dianawati. 2003: 7) dan remaja tidak mendapatkan pendidikan seks di dalam sekolah atau lembaga formal lainnya. Sehingga keingintahuan yang sangat berlebihan mengenai seks didapatkan dari berbagai media yang salah (www.mediaindonesia-online.com). Sebab itu, orang tua hendaknya memberikan pendidikan seks kepada anak-anaknya sejak dini, karena orang tua terutama ibu mempunyai peran yang cukup kuat agar para remaja dapat mengetahui dampak dari segala sesuatu tentang rendahnya pengetahuan seks (www.dunia.web.id). Ibu menempati peranan yang strategis dalam mendidik putra putrinya untuk menjadi manusia yang sehat (www.jurnalkopertij4.or.T.newsuiew.php?id).
Berdasar hasil Praktek Klinik Lapangan di Desa ......... Kecamatan ......... Kabupaten ........., didapatkan data dari 50 orang remaja 18 remaja diantaranya (3 6%) diantaranya mempunyai pengetahuan yang rendah tentang pendidikan seks. Dari sini peneliti tertarik untuk meneliti sikap ibu dalam menghadapi rendahnya pengetahuan seks remaja 16-20 tahun di Desa ......... Kecamatan ......... Kabupaten ..........

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya yaitu : Bagaimana sikap ibu dalam menghadapi rendahnya pengetahuan seks remaja 16-20 tahun di Desa ......... Kecamatan ......... Kabupaten ..........

1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Mendapatkan gambaran atau informasi tentang sikap ibu dalam menghadapi rendahnya pengetahuan seks remaja usia 16-20 tahun.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.1.1. Untuk mengetahui komponen kognitif ibu dalam menghadapi rendahnya pengetahuan seks remaja 16-20 tahun.
1.3.1.2. Untuk mengetahui komponen afektif ibu dalam menghadapi rendahnya pengetahuan seks remaja 16-20 tahun.
1.3.1.3. Untuk mengetahui komponen konatif ibu dalam menghadapi rendahnya pengetahuan seks remaja 16-20 tahun.

1.4. Manfaat
1.4.1 Bagi Institusi
Dapat dijadikan sebagai bahan tambahan atau masukan pengetahuan dan informasi serta pengembangan untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2 Bagi Peneliti
Menambah pengetahuan atau wawasan mengenai sikap ibu dalam menghadapi rendahnya pengetahuan seks remaja usia 16-20 tahun.
1.4.3 Bagi Pembaca
Menambah pengetahuan bagi pembaca dan untuk dikembangkan pada penelitian selanjutnya.
1.4.4 Bagi Tempat Penelitian
Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi warga Desa ......... Kecamatan ......... Kabupaten ......... dalam menghadapi rendahnya pengetahuan seks remaja usia 16-20 tahun.

silahkan download dalam bentuk dokumen word
KTI KEBIDANAN
SIKAP IBU DALAM MENGHADAPI RENDAHNYA PENGETAHUAN SEKS REMAJA 16-20 TAHUN DI DESA
(isi: abstrak, Pendahuluan; Tinjauan Pustaka; Metodelogi Penelitian;
Hasil Penelitan dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran; Daftar Pustaka, kuesioner)

Hubungan Pengetahuan Ibu Pasca Nifas tentang Hubungan Seksual Pasca Nifas dengan Minatnya Berhubungan

ABSTRAK
HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU PASCA NIFAS TENTANG HUBUNGAN
SEKSUAL PASCA NIFAS DENGAN MINATNYA BERHUBUNGAN
SEKSUAL DI BPS Ny. INDAH SW DESA ...........
KECAMATAN ........ KABUPATEN .......

Seks adalah sesuatu yang sangat naluriah, dan semua manusia akan melewatinya. Tapi seks juga sangat berkaitan dengan lingkungan, norma masyarakat, faktor psikologis maupun fisik seseorang. Artinya dorongan seks bisa berubah setiap saat. Begitu seorang wanita melewati masa nifas, hubungan seks sudah boleh dilakukan, tentunya dengan frekuensi dan kekuatan yang tidak sekuat sebelum hamil. Karena masih dalam proses penyesuaian, kadang masih sering muncul ketakutan, cemas, atau takut jahitan robek, seringkali akan sedikit mengurangi kenikmatan berhubungan seks, bahkan tidak jarang justru menimbulkan rasa sakit (dispareuni). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu pasca nifas tentang hubungan seksual pasca nifas dengan minatnya berhubungan seksual.
Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif cross sectional yaitu suatu penelitian dimana variabel – variabel yang termasuk faktor resiko dan efek diobservasi sekaligus pada waktu yang sama. Sedangkan analisa data yang digunakan adalah analisa korelasi dengan taraf signifikan 5% dengan menggunakan rumus Spearman Rank.
Dari penelitian didapatkan responden yang berpengetahuan baik sebanyak 65,22% dan 52,17% berminat melakukan hubungan seksual pasca nifas. Dengan perhitungan Spearman Rank didapatkan hasil 0,576 dimana. ñ hitung > ñ tabel yang berarti H0 ditolak dan H1 diterima.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan antara pengetahuan ibu pasca nifas tentang hubungan seksual pasca nifas dengan minatnya berhubungan seksual.
Kata kunci : Pengetahuan, Ibu pasca nifas, Hubungan seksual, Minat.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Salah satu pertanyaan yang paling sering diajukan pada akhir kelas persiapan kelahiran adalah berapa lama setelah melahirkan dapat melakukan kembali hubungan seksual yang normal (Jimenez, Sherry. 1999 : 28). Pada masa ini ibu menghadapi peran baru sebagai orang tua sehingga sering melupakan perannya sebagai pasangan (Mellyana Huliana. 2003 : 9).
Banyak kekhawatiran yang biasanya melanda dan biasanya malu untuk ditanyakan kepada dokter maupun orang-orang terdekat. Akibatnya aktivitas bercinta menjadi terganggu dan jika tidak ditangani dengan benar, bisa berbuntut panjang. Banyak pertanyaan yang berputar soal itu saja. Alasan ini terus bermunculan dan memenuhi pikiran kebanyakan suami istri. Akibatnya energi yang seharusnya disalurkan untuk berhubungan seksual hilang seketika. Ritme hubungan seksualpun menjadi menurun (http ://www.astaga.com. 2007).
Sebagian pria dan wanita menginginkan hubungan seks secepat mungkin setelah melahirkan, sebagian lagi mungkin lebih suka menunggu atau bahkan mungkin merasa takut (Hasselquist. 2006 : 28). Banyak wanita setelah melahirkan, merasa cemas atau takut untuk berhubungan seksual lagi dengan pasangannnya. Banyak perempuan yang merasa tidak berhasrat untuk melakukan senggama pasca persalinan, karena takut terhadap rasa nyeri yang mungkin ditimbulkannya. Waktu yang dibutuhkan oleh seorang perempuan untuk mengembalikan gairahnya seperti semula, sangat bergantung kepada pengalaman persalinannya (apakah persalinan normal atau dengan cara caesar) (Ryan Thamrin. 2008)
Pada banyak pasangan, perubahan karena kehamilan dapat mengganggu keseimbangan dalam hubungan mereka, terutama dalam hubungan seksual. Begitu juga setelah persalinan. Sehingga muncul banyak pertanyaan, kapan seks yang aman setelah melahirkan sehingga tidak mengganggu keharmonisan rumah tangga (Ryan Thamrin. 2007).
Ibu yang baru melahirkan boleh melakukan hubungan seksual kembali setelah 6 minggu persalinan. Batasan waktu 6 minggu didasarkan atas pemikiran pada masa itu semua luka akibat persalinan, termasuk luka episiotomi biasanya telah sembuh dengan baik dan 6 minggu adalah waktu dimana rahim telah kembali pada ukuran sebelum hamil. Pengecilan rahim adalah perubahan fisik utama persalinan yang terakhir, cara alamiah rahim akan kembali mengecil pelahan-lahan ke bentuknya semula,. Setelah 6 minggu beratnya sudah sekitar 40-60 gram. Ini dianggap masa nifas telah selesai. Namun, sebetulnya rahim akan kembali ke posisi normal dengan berat 30 gram sekitar 3 bulan kemudian. Setelah masa pemulihan 3 bulan ini, bukan hanya rahim saja yang kembali normal tapi juga kondisi tubuh ibu secara keseluruhan (Novitasari. 2007), mencegah timbulnya infeksi merupakan alasan selanjutnya (Ryan Thamrin. 2007)
Sebuah penelitian di Australia mendapatkan bahwa enam minggu adalah waktu rata-rata bagi para perempuan pasca persalinan untuk mulai melakukan hubungan seks. Tapi penelitian tersebut juga menemukan bahwa sekitar setengah dari mereka memiliki masalah sejak awal, terus mengalaminya selama tahun pertama pasca persalinan. Penelitian lain menemukan 20% perempuan yang baru pertama kali melahirkan membutuhkan waktu 6 bulan untuk merasa nyaman secara fisik saat bersenggama, dengan waktu rata-rata sekitar 3 bulan (http://cyberwoman.cbn.net.id. 2007).
Studi pendahuluan yang pernah dilakukan peneliti di BPS Ny. Indah SW Desa ........... Kecamatan ........ Kabupaten ....... pada bulan Maret– April 2010 terdapat 12 ibu bersalin normal, 5 ibu masih dalam masa nifas dan 2 diantaranya saat ini belum memikirkan untuk berhubungan seksual, karena masih takut, 3 ibu yang masih dalam masa nifas mengatakan akan memulai hubungan seks setelah darah nifas berhenti dan luka jahitan kering ( + 40 hari). Sedangkan 7 ibu sudah melalui masa nifas, 5 diantaranya mengatakan akan mulai berhubungan seksual kira-kira 3 bulan setelah melahirkan. Dan 2 ibu mengatakan belum memikirkan tentang kapan akan mulai berhubungan seksual lagi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pengetahuan dan minat ibu pasca nifas mengenai hubungan seksual pasca nifas.
Dari data di atas, peneliti tertarik mengadakan penelitian untuk mengetahui bagaimana pengetahuan ibu pasca nifas tentang hubungan seksual pasca nifas dengan minatnya berhubungan seksual di BPS Ny. Indah SW Desa ........... Kecamatan ........ Kabupaten ........

1.2. Rumusan Masalah
Bertolak dari permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan yakni tentang “Adakah hubungan antara pengetahuan ibu pasca nifas tentang hubungan seksual pasca nifas dengan minatnya berhubungan seksual?”.

1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan pengetahuan ibu pasca nifas tentang hubungan seksual pasca nifas dengan minatnya berhubungan seksual.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.3.2.1. Mengidentifikasi pengetahuan pada ibu pasca nifas tentang hubungan seksual pasca nifas.
1.3.2.2. Mengidentifikasi minat ibu pasca nifas berhubungan seksual pasca nifas.
1.3.2.3. Menganalisa hubungan antara pengetahuan ibu pasca nifas tentang hubungan seksual pasca nifas dengan minatnya berhubungan seksual pasca nifas.

1.4. Manfaat Penelitian
Dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terkait, antara lain :
1.4.1. Bagi Peneliti
Meningkatkan pemahaman dan wawasan secara langsung bagi
peneliti mengenai pengetahuan ibu pasca nifas tentang hubungan
seksual pasca nifas dengan minatnya berhubungan seksual. 1.4.2. Bagi Tempat Penelitian
Sebagai bahan tambahan dalam memberikan informasi tentang hubungan seksual pada ibu pasca nifas.
1.4.3. Bagi Institusi
Dapat digunakan sebagai bahan informasi dan bahan masukan untuk mengembangkan penelitian selanjutnya.

silahkan download dalam bentuk dokumen word
KTI KEBIDANAN
HUBUNGAN PENGETAHUAN IBU PASCA NIFAS TENTANG HUBUNGAN SEKSUAL PASCA NIFAS DENGAN MINATNYA BERHUBUNGAN
(isi: abstrak, Pendahuluan; Tinjauan Pustaka; Metodelogi Penelitian;
Hasil Penelitan dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran; Daftar Pustaka, kuesioner)

Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Makanan Bergizi dengan Pemberian Makanan Pendamping ASI Pada Bayi Usia 6-12 Bulan

ABSTRAK
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG
MAKANAN BERGIZI DENGAN PEMBERIAN MAKANAN
PENDAMPING ASI PADA BAYI USIA 6-12 BULAN DI
POSYANDU DESA ............. WILAYAH KERJA
PUSKESMAS ......... KABUPATEN ........
2010

Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak, karena anak sedang tumbuh sehingga kebutuhannya berbeda dengan orang dewasa. Hal yang paling utama dalam pemberian makanan pendamping pada anak adalah makanan apa yang seharusnya diberikan, kapan waktu pemberian dan dalam bentuk yang bagaimana makanan tersebut diberikan. Penelitian dilaksanakan tanggal 15-16 Juli 2010 di Posyandu desa ............., Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten ........ dengan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang makanan bergizi dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 6-12 bulan.
Penelitian ini menggunakan desain penelitian korelasi cross sectional.Populasi adalah semua bayi yang ikut posyandu di desa .............. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik sampling jenuh. Variable independen dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan ibu tentang makanan bergizi dan variable dependennya adalah pemberian makanan pendamping ASI. Metode pengumpulan data menggunakan kuesioner.
Hasil penghitungan terhadap 26 responden didapatkan hasil bahwa harga rho hitung adalah 0,45 8 dan harga rho tabel adalah 0,3 92, maka terlihat bahwa rho hitung > rho tabel berarti ada hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang makanan bergizi dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 6- 12 bulan.
Kata kunci: Pengetahuan, Makanan Bergizi, MP-ASI

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak, karena anak sedang tumbuh sehingga kebutuhannya berbeda dengan orang dewasa. Hal yang paling utama dalam pemberian makanan anak adalah makanan apa yang seharusnya diberikan, kapan waktu pemberian dan dalam bentuk yang bagaimana makanan tersebut diberikan (Helvetia, 2007).
Pada usia 6 bulan saluran pencernaan bayi sudah mulai bisa diperkenalkan pada makanan padat sebagai makanan tambahannya. Berdasarkan ilmu gizi, para bayi perlu diperkenalkan kepada jenis makanan pendamping ASI agar mereka dapat memperoleh unsur gizi diantaranya karbohidrat, protein, vitamin dan mineral yang mereka perlukan untuk pertumbuhan mereka. Pemberian makanan pendamping ASI harus bertahap dan bervariasi mulai dengan 1 jenis rasa setiap mengenalkan jenis makanan baru, mulai bentuk bubur kental, sari buah, buah segar, makanan lumat, makanan lembek dan akhirnya makanan padat (Sulistijani, D.A dan Herlianty, 2001).
Ditinjau dari sudut masalah kesehatan dan gizi, maka bayi termasuk kelompok yang paling mudah menderita kelainan gizi. Sedangkan saat ini mereka sedang mengalami proses pertumbuhan yang relatif pesat dan memerlukan zat-zat gizi dalam jumlah yang relatif besar. Maka kesehatan yang baik ditunjang dengan keadaan gizi yang baik, ini merupakan hal yang utama untuk tumbuh kembang yang optimal bagi seorang anak. Pengetahuan ibu yang baik dalam pemberian makanan pendamping ASI sangat menunjang status gizi anak (Yustina Rostiawati, 2002).
Salah satu faktor penyebab perilaku penunjang orang tua dalam memberikan makanan pendamping ASI pada bayinya adalah masih rendahnya pengetahuan ibu tentang makanan bergizi bagi bayinya. Yang dimaksud dengan pengetahuan ibu tentang makanan bergizi adalah hasil tahu karena faktor penginderaan terhadap suatu obyek tertentu tentang bahan makanan yang diperlukan dalam satu hari yang beraneka ragam dan mengandung zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur yang dibutuhkan oleh tubuh. Karena kurangnya pengetahuan yang dimiliki oleh ibu, sehingga banyak bayi yang mengalami gizi kurang. Untuk mencegah terjadinya berbagai gangguan gizi dan masalah psikososial diperlukan adanya perilaku penunjang dari para orang tua, khususnya perilaku ibu dalam memberikan makanan pendamping ASI pada bayinya. Yang dimaksud dengan pemberian makanan pendamping ASI adalah pemberian makanan tambahan pada bayi setelah bayi berusia 6-24 bulan, jadi selain makanan pendamping, ASI pun harus tetap diberikan pada bayi sampai bayi berusia 2 tahun (Depkes, RI, 2006).
Pemantauan rutin yang telah dilakukan pemerintah melalui sistem kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) menunjukkan jumlah kasus gizi buruk yang dilaporkan dari Dinas Kesehatan dan Rumah Sakit semakin meningkat. Data hasil penelitian saudari Suyanah berdasarkan data SUSENAS (Survei Kesehatan Nasional) pada tahun 2002 dari 23.323.731 balita, dijumpai prevalensi Kekurangan Energi Protein (KEP) ringan pada balita adalah 4.576.035 balita (19,6 %), KEP sedang 1.954.500 balita (8,4 %), sedangkan untuk KEP berat 972.292 balita (4,2 %). (Depkes RI, 2002)
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota ........ bayi yang diberi makanan pendamping ASI yaitu sebanyak 701 bayi (80 %). Berdasarkan data hasil studi pendahuluan pada tanggal 10-29 maret 2010 di posyandu desa ............., dari 85 jumlah bayi, 25 bayi yang usia 6-12 bulan didapatkan lebih dari 60 % dari bayi mempunyai riwayat pernah mendapatkan MP-ASI sejak 3-4 bulan dan 40 % dari bayi diberi MP-ASI sesuai umur bayi. Pemberian MP-ASI pada bayi usia 6-12 bulan terdiri dari usia 6-9 bulan tediri dari ASI, nasi tim, dan buah, sedangkan untuk usia 9-12 bulan terdiri dari ASI, nasi tim, bubur susu, dan buah, sedangkan pada MP-ASI instan bisa langsung dibuat sendiri oleh ibu. Tapi lebih baiknya kalau ibu men\mberikan MP-ASI pada bayinya dengan membuat sendiri, tidak beli yang instan, karena lebih hieginies dan tidak mengandung pengawet.
Selain itu berdasarkan hasil wawancara didapatkan hasil ibu yang mempunyai pengetahuan kurang tentang makanan bergizi sebanyak 5 orang (20 %), yang berpengetahuan cukup 8 orang (30 %), sedang yang berpengetahuan baik 12 orang (50 %). Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang makanan bergizi dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 6-12 bulan.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut dapat dirumuskan masalah penelitian “Adakah hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang makanan bergizi dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 6-12 bulan di Posyandu desa .............?

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang makanan bergizi dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 6-12 bulan di Posyandu Desa ..............
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi tingkat pengetahuan ibu tentang makanan bergizi
1.3.2.2 Mengetahui pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 6-12 bulan
1.3.2.3 Menganalisa hubungan antara tingkat pengetahuan ibu tentang makanan bergizi dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 6-12 bulan di Wilayah desa ............. Kecamatan Gampengrejo Kabupaten .........

1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Bagi Peneliti
Mendapatkan pengalaman untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang makanan bergizi dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 6-12 bulan.
1.4.2 Bagi Tempat Penelitian
Memberikan masukan dan sebagai data dasar tentang pengetahuan ibu-ibu yang memiliki bayi usia 6-12 bulan tentang makanan bergizi dalam pemberian makanan pendamping ASI.
1.4.3 Bagi Institusi
Sebagai bahan masukan untuk menambah wawasan informasi dan panduan dalam penelitian lebih lanjut mengenai hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang makanan bergizi dengan pemberian makanan pendamping ASI pada bayi usia 6-12 bulan.

silahkan download dalam bentuk dokumen word
KTI KEBIDANAN
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG MAKANAN BERGIZI DENGAN PEMBERIAN MAKANAN PENDAMPING ASI PADA BAYI USIA 6-12 BULAN
(isi: abstrak, Pendahuluan; Tinjauan Pustaka; Metodelogi Penelitian;
Hasil Penelitan dan Pembahasan; Kesimpulan dan Saran; Daftar Pustaka, kuesioner)
.

KTI yang mungkin berhubungan dengan KTI yang anda cari:

BELUM KETEMU PAKAI KOTAK PENCARIAN BERIKUT: